Senin, 06 September 2010

Mengambil berkah dari air hujan dan ka,bah

Oleh: KH. Idrus Ramli

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin--ulama Wahabi kontemporer yang sangat populer--mempunyai seorang guru yang sangat alim dan kharismatik di kalangan kaum Whhabi, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa'di, yang dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa'di. Ia memiliki banyak karangan, di antaranya yang paling populer adalah karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti manhaj pemikiran Wahhabi. Meskipun Syaikh Ibnu Sa'di, termasuk ulama Wahabi yang ekstrim, ia juga seorang ulama yang mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari manapun kebenaran itu datangnya.

Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid 'Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda Abuya al-Sayyid Muhammad bin 'Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjid al-Haram bersama halaqah pengajiannya. Sementara di bagian lain serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa'di juga duduk-duduk. Sementara orang-orang di Masjidil Haram larut dalam ibadah shalat dan tawaf yang mereka lakukan. Pada saat itu, langit di atas Masjidil Haram penuh dengan mendung yang menggelantung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan yang sangat lebat. Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka'bah mengalirkan airnya dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan mengambil air tersebut, dan kemudian mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.

Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian besar berasal dari orang Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan menyembah selain Allah SWT. Akhirnya para polisi pamong praja itu berkata kepada orang-orang Hijaz yang sedang mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air Ka'bah itu,

"Jangan kalian lakukan wahai orang-orang musyrik. Itu perbuatan syirik. Itu perbuatan syirik."

Mendengar teguran para polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itu pun segera berhamburan menuju halaqah al-Imam al-Sayyid 'Alwi al-Maliki al-Hasani dan menanyakan prihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka'bah itu. Ternyata Sayyid 'Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka untuk melakukannya. Akhirnya untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan lagi menuju saluran air di Ka'bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi baduwi tersebut. Bahkan mereka berkata kepada para polisi baduwi itu,

"Kami tidak akan memperhatikan teguran Anda, setelah Sayyid 'Alwi berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini."

Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi baduwi itu pun segera mendatangi halqah Syaikh Ibnu Sa'di, guru mereka. Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid 'Alwi yang menganggap bahwa air hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi Baduwi, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa'di segera mengambil selendangnya dan bangkit menghampiri halqah Sayyid 'Alwi dan duduk di sebelahnya. Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua ulama besar itu. Dengan penuh sopan dan tata krama layaknya seorang ulama, Syaikh Ibnu Sa'di bertanya kepada Sayyid 'Alwi:

"Wahai Sayyid, benarkah Anda berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran air di Ka'bah itu ada berkahnya?"

Sayyid 'Alwi menjawab:

"Benar. Bahkan air tersebut memiliki dua berkah."

Syaikh Ibnu Sa'di berkata:

"Bagaimana hal itu bisa terjadi?"

Sayyid 'Alwi menjawab:

"Karena Allah SWT berfirman dalam Kitab-Nya tentang air hujan:

وَنَزَّلْنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءًۭ مُّبَٟرَكًۭا

"Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah." (QS. 50:9).

Allah SWT juga berfirman mengenai Ka'bah:

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍۢ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِى بِبَكَّةَ مُبَارَكًۭا وَهُدًۭى لِّلْعَٟلَمِينَ ﴿٩٦﴾

"Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah rumah yang ada di Bekkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah)." (QS. 3:96).

Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka'bah itu memiliki dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada Baitullah ini."

Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa'di merasa heran dan kagum kepada Sayyid 'Alwi. Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu Sa'di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan kebenaran ucapan Sayyid 'Alwi:

"Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana kami bisa lalai dari kedua ayat ini."

Kemudian Syaikh Ibnu Sa'di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid 'Alwi dan meminta izin untuk meninggalkan halqah tersebut. Namun Sayyid 'Alwi berkata kepada Syaikh Ibnu Sa'di:

"Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu Sa'di. Aku melihat para polisi Baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka'bah itu sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan orang dan mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka melihat orang yang seperti Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang bangkitlah Anda menuju saluran air di Ka'bah itu, lalu ambillah air di situ di depan para polisi baduwi itu, sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain."

Akhirnya mendengar saran Sayyid 'Alwi tersebut, Syaikh Ibnu Sa'di segera bangkit menuju saluran air di Ka'bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun mengambil air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya. Melihat tingkah laku Syaikh Ibnu Sa'di ini, para polisi Baduwi itu pun pergi meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu.

Semoga Allah SWT merahmati Sayyidina al-Imam 'Alwi bin 'Abbas al-Maliki al-Hasani. Amin.

Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat (kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu.

Penulis: KH. Idrus Ramli
Penulis adalah Pengurus Ikatan Alumni Santri Sidogiri (IASS) Jember.
Sumber: http://www.azahera.net/showthread.php?t=2408

Tahlil dan Dzikir Jamaah

Bagaimana hukumnya tahlil?

Mengapa hukumnya tahlil ditanyakan? Bukankah tahlil itu sighat masdar dari madzi hallala yang artinya baca Laa Ilaaha Illa Allah.

Bukan. Yang saya maksud adalah tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung itu.

Tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung, kota-kota bahkan seluruh penjuru adalah berisi bacaan Laa Ilaaha Illa Allah,Subhaana Allah wa bi Hamdihi, Astaghfirullah al Adzim, sholawat, ayat-ayat al Quran, fatihah, Muawwidzatain dan sebagainya apakah juga masih ditanyakan hukumnya?

Tetapi apakah ada aturan berdzikir secara jamaah sebagaimana dilakukan jamaah NU?
وَاصبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدَاةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridlaan NYA; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka…

Di samping ayat disebutkan diatas, diantara ayat yang biasa anda dan kyai NU pahami sebagai anjuran dzikir berjama'ah adalah

"(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. 3:191)

Ayat di atas, dianggap sebagai dalil yang membolehkan dzikir berjamaah karena menggunakan sighat (konteks) jama' (plural) yaitu yadzkuruna. Menurut kyai NU jama' berarti banyak dan banyak artinya bersama-sama. Pengambilan dalil semacam ini menurut saya adalah tidak benar, karena tidak setiap kalimat yang disampaikan dalam bentuk jama' harus dipahami bahwa itu dilakukan dengan bersama-sama.

Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Khumayyis, penulis makalah "Adz-Dzikr al-Jama'i baina al-Ittiba' wal ibtida' (telah dibukukan dengan judul yang sama), menjelaskan bahwa sighat (konteks) jama' dalam ayat di atas adalah sebagai anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh kepada semua umat Islam untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wata'ala tanpa kecuali, bukan anjuran untuk melakukan dzikir berjama'ah.

Selain itu jika sighat (konteks) jama' dalam ayat tersebut dipahami sebagai anjuran untuk melakukan dzikir secara berjama'ah atau bersama-sama maka kita akan kebingungan dalam memahami kelanjutan ayat tersebut. Disebutkan bahwa dzikir itu dilakukan dengan cara berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim). Nah bagaimanakah praktek dzikir bersama-sama dengan cara berdiri, duduk dan berbaring itu? Apakah ada dzikir berjama'ah dengan cara seperti ini? Permasalahan lainnya adalah bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat berada di samping beliau. Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat memahami ayat tersebut sebagai perintah untuk dzikir bersama-sama satu suara?

Kalau anda menyatakan bahwa lafadz jama' itu tidak selalu bersama-sama, maka bisakah anda menunjukkan bahwa lafadz jama' itu tidak mungkin dimaknakan bersama-sama? Bagaimanakah dengan kisah para sahabat yang berdoa bersama Rasul saw dengan melantunkan syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit) Rasul saw dan sahabat2 radhiyallhu ‘anhum bersenandung bersama sama dengan ucapan:

"HAAMIIIM LAA YUNSHARUUN.." (lihat Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwat Khandaq).

Perlu anda ketahui bahwa sirah Ibn Hisyam adalah buku sejarah yg pertama ada dari seluruh buku sejarah, yaitu buku sejarah tertua. Karena ia adalah Tabi'in. Sehingga akurasi sumber datanya lebih valid. Begitu juga pada waktu para sahabat membangun saat membangun Masjidirrasul saw: mereka bersemangat sambil bersenandung:

"Laa 'Iesy illa 'Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah"

Setelah mendengar ini maka Rasul saw pun segera mengikuti ucapan mereka seraya bersenandung dengan semangat:

"Laa 'Iesy illa 'Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhajirah ..." (Sirah Ibn Hisyam Bab Hijraturrasul saw- bina' masjidissyarif hal 116)

Ucapan ini pun merupakan doa Rasul saw demikian diriwayatkan dalam shahihain. Mengenai makna berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim). Tidakkah anda pernah shalat berjamaah? Bukankah shalat juga melafalkan dzikir? Bukankah shalat itu bisa berdiri, duduk dan tidur miring? Menafsiri ayat tersebut diatas Ibn Katsir mengutip hadits Nabi riwayat Bukhari:

عن عِمْران بن حُصَين، رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "صَلِّ قائما، فإن لم تستطع فقاعدا، فإن لَم تستطع فَعَلَى جَنْبِكَ أي: لا يقطعون ذِكْره في جميع أحوالهم بسرائرهم وضمائرهم وألسنتهم

Jadi ayat tersebut di atas lebih dititikberatkan kepada bagaimana tata cara orang shalat, namun secara umum dapat juga diartikan dzikir secara laf-dziy. Seseorang dapat berdzikir kepada Allah dengan segala tingkah sesuai kemampuannya. Kalau anda memaknakan bahwa dzikir berjamaah dengan tidur semua, duduk semua atau berdiri semua, manakah point yang menunjukkan itu? Bagaimana kalau dimaknakan bila dzikir itu dibaca berjamaah, kita dapat berdiri, duduk dan tiduran sesuai dengan kondisi kita? Berdiri karena tidak lagi kebagian tempat, tiduran karena kondisi tubuhnya tidak memungkinkan.

Sahabat Rasul radhiyallahu'anhum mengadakan shalat tarawih berjamaah, dan Rasul saw justru malah menghindarinya, mestinya andapun shalat tarawih sendiri sendiri, kalau toh Rasul saw melakukannya lalu menghindarinya, lalu mengapa Generasi Pertama yg terang benderang dg keluhuran ini justru mengadakannya dengan berjamaah. Sebab mereka merasakan ada kelebihan dalam berjamaah, yaitu syiar, mereka masih butuh syiar dibesarkan, apalagi kita dimasa ini.

Kalau anda tidak mau memaknakan kalimat jama' dengan arti bersama-sama, dari makna apa anda shalat tarawih berjamaah? Berdasar hadits dan ayat al Quran yang mana?

Kita Ahlussunnah waljama'ah berdoa, berdzikir, dengan sirran wa jahran, di dalam hati, dalam kesendirian, dan bersama sama. Sebagaimana Hadist Qudsiy Allah swt berfirman :

إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ

Bila ia (hambaKu) menyebut namaKu dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diriku, bila mereka menyebut namaKu dalam kelompok besar, maka Akupun menyebut (membanggakan) nama mereka dalam kelompok yg lebih besar dan lebih mulia". (HR Muslim).

Kita di majelis menjaharkan lafadz doa dan munajat untuk menyaingi panggung-panggung maksiat yg setiap malam menggelegar dengan dahsyatnya menghancurkan telinga, berpuluh ribu pemuda dan remaja MEMUJA manusia manusia pendosa dan mengelu elukan nama mereka.. menangis menjilati sepatu dan air seni mereka.., suara suara itu menggema pula di televisi di rumah rumah muslimin, di mobil2, dan hampir di semua tempat,

Salahkah bila ada sekelompok pemuda mengelu-elukan nama Allah Yang Maha Tunggal? Menggemakan nama Allah? Apakah Nama Allah sudah tak boleh dikumandangkan lagi dimuka bumi? Mewakili banyak hadits tentang dzikir berjamaah ini, perhatikan dan camkanlah hadits ini:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالُوا يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَتَحْمِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنْ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ هُمْ الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رواه البخارى

Sabda Rasulullah saw: "Sungguh Allah memiliki malaikat yg beredar dimuka bumi mengikuti dan menghadiri majelis majelis dzikir, bila mereka menemukannya maka mereka berkumpul dan berdesakan hingga memenuhi antara hadirin hingga langit dunia, bila majelis selesai maka para malaikat itu berpencar dan kembali ke langit, dan Allah bertanya pada mereka dan Allah Maha Tahu : "darimana kalian?" mereka menjawab : kami datang dari hamba hamba Mu, mereka berdoa padamu, bertasbih padaMu, bertahlil padaMu, bertahmid pada Mu, bertakbir pada Mu, dan meminta kepada Mu,

Maka Allah bertanya: "Apa yg mereka minta", Malaikat berkata: mereka meminta sorga, Allah berkata: apakah mereka telah melihat sorgaku? Malaikat menjawab: tidak, Allah berkata: "Bagaimana bila mereka melihatnya". Malaikat berkata: mereka meminta perlindungan Mu, Allah berkata: "mereka meminta perlindungan dari apa?" Malaikat berkata: "dari Api neraka", Allah berkata: "apakah mereka telah melihat nerakaku?" Malaikat menjawab tidak, Allah berkata: Bagaimana kalau mereka melihat neraka Ku. Malaikat berkata: mereka beristighfar pada Mu, Allah berkata: "sudah kuampuni mereka, sudah kuberi permintaan mereka, dan sudah kulindungi mereka dari apa apa yg mereka minta perlindungan darinya, malaikat berkata: "wahai Allah, diantara mereka ada si fulan hamba pendosa, ia hanya lewat lalu ikut duduk bersama mereka, Allah berkata: baginya pengampunanku, dan mereka (ahlu dzikir) adalah kaum yg tidak ada yg dihinakan siapa siapa yg duduk bersama mereka

Berdzikir, berdo'a, bersedekah untuk mayyit

Bagaimanakah hukum berdzikir atau berdoa untuk orang yang sudah meninggal dunia?

Berdoa merupakan perintah Allah. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berdoa kepada Allah. Karena doa erupakah inti dari ibadah. Dalam setiap gerak ibadah yang dilakukan olelh seorang mukmin itu ada doa. Bahkan dalam sebuah hadits dinyatakan, bahwa doa itu merupakan pedang bagi seorang muslim. Islam membolehkan berdoa atau dzikir untuk orang yang sudah mati. Dalam sebuah ayat dinyatakan:

Orang-orang yang datang sesudah mereka(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami." (QS. Al-Hasyr)

Ayat tersebut secara jelas menyatakan bahwa para sahabat pernah berdoa untu saudara-saudara mereka yang telah lebih dahulu meninggal dunia. Ketika para sahabat melakukan hal itu, rasulullah pun tidak melarangnya. Nabi membiarkan dan membolehkannya. Perintah untuk mendoakan orang lain juga disebutkan dalam ayat:

"Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan." (QS. Muhammad: 19)

Nabi SAW.sendiri dalam beberapa haditsnya memerintahkan secara terang-terangan supya umat islam membacakan ayat-ayat al-Qur'an untuk orang yang telah meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dalam hadits berikut:

Dari Mu'aqqol ibn Yassar ra.: "barang siapa membaca surat yasin karena mengharap ridlo Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka bacakanlah surat yasin bagi orang yang mati diantar kamu." (Al-Baihaqi, Jami'us Shogir: bab Syu'abul Iman, Vol. 2, hal. 178, termasuk hadits shohih.)

Senada dengan itu, dalam hadits lain Rasulullah juga menganjurkan kepada kaum muslimin untuk memohonkan ampunan bagi si mayit atas dosa-dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan saat hidup di dunia. Dari Utsman bin Affan ra, dia berkata:

"Ketika Rasulullah selesai menguburkan jeazah, maka beliau berdiam diri atas mayit, lalu bersabda, "mohon ampunlah kalian semua kepada Allah SWT.untuk saudaramu. Dan mohonlah ketetapan untuk mayit sesungguhnya saat ini dia sedang diberi pertanyaan." (HR. Abu Daud dan Hakim, termasuk hadits shohih menurut Abu Daud, Bulughul Maram: 115/604)

Bagaimana hukum bersedekah untuk orang yang sudah meninggal dunia?

Dalam islam, sedekah merupakan amalan mulia yang sangat dianjurkan, bahkan merupakan perintah yang harus dijalankan. Di dalam al-Qur'an digambarkan bahwa bersedekah merupakan salah satu cirri orang yang bertaqwa. Dengan kata lain seseorang tidak masuk dalam kategori bertaqwa (muttaqin) manakala ia tidak mau menyisihkan sebagian hartanya untk disedekahkan kepada orang yang berhak. Allah befirman:

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali- Imron: 133-134)

Banyak hikmah yang dapat diambil dalam bersedekah. Oranng yang bersedekah tidak akan mengalami kerugian, baik materil maupun spiritual. Allah sendiri dalam wahyu-Nya menjanjkan mereka yang mau bersedekah untuk dilipatgandakan. Seseorang yang mensedekahkan hartanya digambarkan akan mendapatkan pahala berlipat-lipat ibarat dahan pohon yang memiliki tujuh ranting, dan setiap ranting memiliki seribu benih. Dalam ayat lain Allah secara tegas akan menjamin orang yang bersedekah, ia akan dilindungi dari kejahatan orang-orang dzalim.

"Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)." (QS. A-Anfal : 60).

Bersedekah tidak saja dapat dilakukan ketika masih hidup. Tetapi sedekah juga dapt dilakukan untuk orang yang sudah meninggal dunia. Rasulullah pernah SAW.perah memerintah seseorang suaya bersedekah untuk keselamatan keluarganya yang telah meninggal dunia.

Dari Aisyah ra.bahwa seorang laki-laki berkata kepada rasulullah SAW. "Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan aku melihatnya seolah-olah dia berkata, bersedekahlah. Apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya?". Rasulullah SAW. Bersabda,"ya". (Muttafaqu ‘alaih)

Perintah rasulullah yang senada itu juga dapat ditemukan dalam hadits-hadits yang lain. Bahkan beliau menyebut amalan sedekah sebagai amalan yang tidak akanpernah putus meskipun oranng yang bersedekah itu telah meninggal dunia. Pahala sedekah tidak saja dapat mengalir ketika yang bersangkutan masih hidup, tetapi juga ketika jasad sudah ditiggalkan oleh rohnya. Dari Abi Hurairah ra.bahwa rasulullah SAW.bersabda:

'Tatkala manusia meninggal maka putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu amal Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakannya." (HR. Muslim).

Apa hukum talqin (pengajaran) kepada mayit?

Di kalangan ulama ahli ijtihad, tidak ada perbedaan pendapat mengenai talqin (mengajarkan kalimal La ilaaha illa Allah) kepada orang yang sedang sekarat, berdasarkan hadits:

لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ بِلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ

"Hendaklah kamu semua mengajarkan kepada orang-orang meninggal alian degan kalimat Laa ilaaha illa Allah(tidak ada Tuhan selain Allah)"

Adapun mengajari (talqin) orang yang baru dikuburkan menurut ulama madzhab Syafi'i, mayoritas ulama madzhab Hambali dan sebagian ulama madzhab Hanafi dan Maliki hukumya sunnah, berdasarkan riwayat At-Tabrani:

"Dari Abu Umamah ra., "Apabila salah seorang di antara saudaramu meninggal dunia dan tanah telah diratakan di atas kuburannya, maka hendaklah salah seorang diantara kamu berdiri di arah kepala, lalu ucapkanlah, ‘Hai Fulan bin fulanah (nama mayat dan nama ibunya). ‘Sesungguhnya si mayat itu mendengar, namun tidak dapat menjawab. Kemudian ucapkan ‘Hai fulan bin fulanah, ‘Sesungguhnya dia duduk. Lalu ucapkan lagi, ‘hai fulan bin fulanah, maka si mayat berkata, ‘Bimbinglah kami, semoga Allah merahmatimu. Kemudian katakanlah "ingatlah apa yang kamu pertahankan saat meninggal dunia berupa kalimat syahadat dan kerelaanmu trhadap Allah sebagai Tuhan, islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi, dan Al-Qur'an sebagai panutan. Sesungguhnya malaikat munkar dan nakir saling berpegangan tangan dan berkata, ‘ayo pergi. Tidak perlu duduk di sisi orang yang diajarkan kepadanya jawabannya. Allah-lah yang dapat memintainya jawaban, bukan malikat munkar dan akir. Lalu ada seorang laki-laki bertanya, ya Rasulullah bagaimana jika ibu si mayat tidak diketahui? Beliau menjawab, sambungkan nasabnya ke ibu Hawa. (HR. At-Thabrani)

Hadits tersebut marfu', sekalipun dhoif, tetapi hadits ini boleh diamalkan dalam amal-amal kebaikan (fadhoilul a'mal) dan untuk mengingatkan orang-orang mukmin, dan juga mengingatkan firman Allah SWT:

"Dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman." (QS. Adz-Dzariyat: 55)

Dan tentu saja nasehat yang paling dibutuhkan oleh setiap hamba adalah ketika baru saja dikebumikan. Imam ibnu Taimiyah dalam fatwa-fatwanya menjelaskan, sesungguhnya talqin sebagaimana tersebut diatas benar-benar dari sekelompok sahabat Nabi SAW.bahwa mereka menganjurkan talqin. Diatara mereka adalah Abu Umamah ra. Imam ibnu Taikiyah berkata, "Hadits-hadits yang menerangkan bahwa orang yang dalam kubur itu ditanya dan diuji dan perlu di doakan adalah sngat kuat. Oleh sebab itu talqin berguna baginya, sebab mayat itu dapat mendengar seruan, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shohih:

"Sesungguhnya Nabi SAW. Bersabda: "Sesungguhnya mayat dalam kubur itu mendengar gesekan sandal-sandal kamu semua."

Sementara itu, dalam hadits yang lain disebutkan:

"Sesungguhnya beliau bersabda: "kamu semua tidaklah lebih mendengar apa yang kau ucapkan daripada mereka."

Tawasul

Apa arti tawasul dengan walinya Allah?

Tawasul dengan walinya Allah SWT artinya menjadikan para kekasih Allah sebagai perantara menuju kepada Allah SWT.dalam mencapai hajat, karena kedudukan dan kehormatan di sisi Allah yang mereka miliki, disertai keyakinan bahwa mereka adalah hamba dan makhluk Allah SWT.yang dijadikan oleh-Nya sebagai lambing kebaikan, barokah, dan pembuka kunci rahmat. Pada hakekatnya, orang yang bertawasul itu tidak meminta hajatnya dikabulkan kecuali kepada Allah SWT dan tetap berkeyakinan bahwa Allah-lah yang maha memberi dan Maha Menolak. Bukan yang lain-Nya. Ia menuju kepada Allah SWT.dan orang-orang yang dicintai Allah SWT, karana mereka lebih dekat kepada-Nya, dan Dia menerima doa mereka dan syafaatnya karena kecintaan-Nya. Allah SWT,mencintai orang-orang yang baik dan orang-orang yang bertaqwa. Dalam hadits qudsi disebutkan:

ولا يزال عبدي يتقرّب إليّ بالنوافل حتى أحبه فإذا أحببته كنت سمعه الذى سمع به وبصره الذى يبصر به ويده التى يبطش بها ورجله الذى يمشى بها ولئن سألني لأعطيته ولئن استعاذني لأعيذنه

Hambaku tidak henti-hentinya mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunah, sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku pendengarannya yang ia mendengar dengannya, dan penglihatannya yang ia melihat dengannya, tangannya, dan penglihatanny yang ia melihat dengannya, kakinya yang ia berjalan dengannya. Apabila ia memohon kepada-Ku, maka aku berinya, dan jia meminta perlindungan, maka Aku berinya perlindungan." (HR. Imam al-Bukhori).

Apa hukum tawasul dengan orang-orang yang dikasihi oleh Allah?

Tawasul dengan orang-orang yang dicintai Allah, seperti nabi-nabi dan orang-orang yang shalih itu boleh, berdasarkan ijma' ulama' kaum muslimin. Bahkan ia merupakan cara orang-orang mukmin yang diridloi. Tawasul itu telah dikenal sejak zaman dahulu dan sekarang.

Bagaimana halnya dengan orang yang beranggapan bahwa tawasul itu adalah syirik dan kufur, serta pelakunya adalah musyrik dan kafir?

Tidak dapat diteladani orang yang nyleneh dan berpisah dari jama'ah yang beranggapan bahwa tawasul adalah perbuatan syirik atau haram, lalu menghukumi musyrik orang-orang yang bertawasul. Ini jelas tidak benar dan batil, sebab anggapan seperti ini akan menimbulkan penilaian, bahwa sebagian umat Islam telah membuat kesepakatan (ijma') atas perkara yang haram atau kemusyrikan. Hal demikian adalah mustahil, karena umat Muhammad ini telah mendapat jaminan tidak bakal membuat kesepakatan atas perbuatan sesat, berdasarkan hadits-hadits Rasulullah SAW.seperti hadits:

سألت ربي أن لايجمع أمتي على ضلالة فأعطانيها

"Saya memohon kapada Tuhanku Allah, untuk tidak menghimpunkan umatku atas perkara sesat, dan Dia mengabulkan permohonanku itu." (HR. Ahmad dan at-Thabrani).

لايجمع الله أمتي على ضلالة أبدا

"Allah tidak menghimpunkan umatku untuk bersepakat atas perkara sesat selama-lamanya." (HR.Imam al-Hakim).

ما رآه المسلمون حسنا فهوعهند الله حسن

"Apa yang diyakini baik oleh orang-orang islam, maka menurut Allah juga baik."

Apakah ada dalil al-qur'an tentang tawasul?

Ya, ada. Adapun ayat al-Qur'an yang menunjukkan dibolehkan tawasul adalah ayat:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya." (QS. Al-Maidah: 35)

Ini adalah permintaan dari Allah, agar kita mencari wasilah (perantara), yaitu segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai sebab untuk mendekatkan kepada-Nya dan sampai pada terpenuhinya hajat dari-Nya.

Apakah tawasul itu terbatas pada amal perbuatan saja, tidak pada benda (Dzat)?

Tidak, karena ayat Al-Qur'an tersebut umum (‘amm) meliputi amal-amal perbuatan baik dan orang-orang shalih, yakni dzat-dzat yang mulia, seperti Nabi SAW.dan wali-wali Allah yang bertaqwa.

Adapun orang yang berpendapat boleh tawasul dengan amal perbuatan saja, sedangkan tawasul dengan dzat-dzat tidak boleh, dan ia membatasi maksud ayat pada pengertian pertama (tawasul dengan amal perbuatan), maka pendapat ini tidak berdsar, sebab ayat tersebut adalah mutlak. Bahkan membawa ayat kepada pengertian kedua (tawasul dengan dzat) itu lebih mendekati, sebab Allah dalam ayat ini memerintahkan taqwa dan mencari wasilah, sedang arti taqwa adalah mengerjakan perintah dan menjauhi larangan. Apabila kata "Ibtighoul wasilah" (mencari wasilah) kita artikan dengan amal-amal sholeh, berarti perintah dalam mencari wasilah hanya sekedar pengulangan dan pengukuhan. Tetapi jika lafad "al-Wasilah" ditafsirkan dzat-dzat yang ulia, maka ia berarti yang asal, dan akna inilah yang lebih diutamakan dan lebih didahulukan. Disamping itu apabila tawasul itu boleh dengan amal-amal perbuatan baik, padahal amal-amal perbuatan merupakan sifat yang diciptakan, maka dzat-dzat yang diridloi oleh Allahlebih berhak dibolehkan, mengingat ketinggian tingkat ketaatan, keyakinan dan ma'rifat dzat-dzat itu kepada Allah SWT, allah SWT.berfirman:

(QS. An-Nisa' : 64).

Ayat ini dengan jelas menerangkan dijadikannya RAsulullah sebagai wasilah kepada Allah SWT. Firman Allah "Jaa-uuka" (mereka dating kepadamu) dan "Wastaghfaro lahumurrosuulu" (dan Rasul memohokan ampun untuk mereka). Andaikata tidak demikian, maka apa kalimat "Jaa-uuka".

Apakah tawasul itu dibolehkan secara umum, baik dengan orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati?

Ya, dibolehkan secara umum, karena ayat tersebut juga umum ('amm), ketika beliau masih hidup di dunia dan sesudah beliau wafat.

Telah dipastikan, bahwa para nabi dan para wali itu hidup dalam kubur mereka, dan arwah mereka di sisi Allah SWT. Barangsiapa tawasul dengan mereka dan menghadap kepada mereka, maka mereka menghadap kepada Allah dalam rangka tercapainya permintaannya. Dengan demikian, maka yang dimintai adalah Allah. Dia-lah yang berbuat dan yang mencipta, bukan lain-Nya. Sesunggguhnya kami golongan ahlussunnah wal jama'ah tidak meyakini adanya kekuasaan, penciptaan, manfaat, dan mudhorot kecuali milik Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Para Nabi dan para wali tidak memiliki kekuasaan apapun. Mereka hanya diambil berkah dan dimintai bantuan karena kedudukan mereka, sebab mereka adalah orang-orang yang dicintai Allah, karena merekalah Allah memberi rahmat kepada hamba-hamba-Nya. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara mereka yang masih hidup atau mereka yang sudah meninggal dunia. Yang kuasa berbuat dalam dua kondisi tersebut hakekatnya adalah Allah, bukan mereaka yang hidup atau yang mati.

Adapun orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang telah meninggal, sepertinya mereka itu berkeyakinan bahwa orang-orang yang masih hidup memiliki kemampuan memberi pengaruh kepada orang lain sedangkan orang yang telah meninggal tidak. Keyakinan seperti ini batil, sebab Allah-lah pencipta segala sesuatu.

Apa tawasul dengan orang-orang yang telah meninggal itu diperbolehkan?

Dalilnya sebagaimana firman Allah:

"Sesungguhnya jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisa' :64).

Ayat di atas adalah umum ('amm) mencakup pengertian ketika beliau masih hidup dan ketika sesudah wafat dan berpindahnya ke alam barzakh. Imam ibnu Al-Qoyyim dalam kitab Zadul ma'ad menyebutkan:

عن أبي سعيد الخضريّ قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم ما خرج رجل من بيته إلى الصلاة فقال اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين عليك وبحقّ ممساي هذا إليك فإني لم أخرج بطرا ولا أشرا ولا رياءا ولا سمعة وإنما خرجت اتّقاء سخطك وابتغاء مرضاتك وأسألك أن تنقذني من النّار وأن تغفر لي ذنوبي فإنه لايغفر الذنوب إلاّ أنت إلاّ وكّل الله به سبعين ألف ملك يستغفرون له وأقبل الله عليه بوجهه حتّى يقضي صلاته.

"Dari Abu Sa'id al-Khudry, ia berkata, Rasulullah SAW.bersabda: "seseorang dari rumahnya hendak sholat dan membaca do'a:

اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين عليك وبحقّ ممساي هذا إليك فإني لم أخرج بطرا ولا أشرا ولا رياءا ولا سمعة وإنما خرجت اتّقاء سخطك وابتغاء مرضاتك وأسألك أن تنقذني من النّار وأن تغفر لي ذنوبي فإنه لايغفر الذنوب إلاّ أنت

Kecuali Allah menugaskan 70.000 malaikat agar memohokan ampun untk oran tersebut, dan Allah menatap orang itu hingga selesai sholat". (HR. Ibnu Majjah).

Dari Imam al-Baihaqi, Ibnu As-Sunni dan al-Hafidz Abu Nu'aim meriwayatkan bahwa do'a Rasulullah ketika hendak keluar menunaikan shalat adalah:

اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين....إلخ

Para ulama; berkata, "ini adalah tawasul yang jelas dengan semua hamba beriman yang hidup atau yang telah mati. Rasulullah mengajarkan kepada sahabat dan memerintahkan mebaca do'a ini. Dansemua orang salaf dan sekarang selalu berdo'a dengan do'a ini ketika hendak pegi sholat."

Abu Nu'aimah dalam kitab al-Ma'rifah, at-Tabrani dan Ibnu Majjah mentakhrij hadits:

عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال لمّا ماتت فاطمة بنت أسد أم علي بن ابي طالب رضي الله عنهما -وذكر الحديث- وفيه: أنه صلى الله عليه وسلم اضطجع في قبرها وقال: الله الذى يحي ويميت وهو حيّ لايموت اغفر لأمّي فاطمة بنت أسد ولقنها حجتها ووسّع مدخلها بحقّ نبيّك والأنبياء والمرسلين قبلي فإنك أرحم الراحمين

Dari Anas bin Malik ra, ia berkata, "ketika Fatimah binti Asad ibunda Ali bin Abi Thalib ra meninggal, maka sesungguhnya Nabi SAW berbaring diatas kuburannya dan bersabda:

"Allah adalah Dzat yang Menghidupkan dan mematikan. Dia adalah Maha Hidup, tidak mati. Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad, ajarilah hujjah (jawaban) pertanyaan kubur dan lapangkanlah kuburannya dengan hak Nabi-Mu dan nabi-nabi serta para rasul sebelumku, sesungguhnya Engkau Maha Penyayang."

Maka hendaklah diperhatikan sabda beliau yang berbunyi:

بحقّ الأنبياء قبلي

"Dengan hak para nabi sebelumku".

Jika tawasul dengan orang-orang yang telah mati itu boleh, mengapa kholifah Umar din al-Khottob tawasul dengan al-Abbas, tidak dengan Nabi SAW?

Para ulama' telah menjelaskan hal ini juga, mereka berkata:

"Adapun tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas ra bukanlah dalil larangan tawasul dengan orang yang telah meninggal dunia. Tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas tidak dengan Nabi SAW itu untuk menjelaskan kepada orang-orang bahwa tawasul dengan selain itu boleh, tidak berdosa. Tentang mengapa dengan al-Abbas bukan dengan sahabat-sahabat lain, adalah untuk memperlihatkan kemuliaan ahli bait Rasulullah SAW.

Apa dalilnya?

Dalilnya adalah perbuatan para sahabat. Mereka selalu dan terbiasa bertawasul dengan rasulullah SAW setelah beliau wafat.

Seperti yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi dan Ibnu abi Syaibah dengan sanad yang shohih:

"Sesungguhnya orang-orang pada masa kholifah Umaar banal-Khottob ra tertimpa paceklik karena kekurangan hujan. Kemudian Bilal bin al-Harits ra dating ke kuburan Rasulullah SAW dan berkata: "Ya rasulullah, mintakanlah hujjah untuk umatmu karena mereka telah binasa." Kemudian ketika Bilal tidur didatangi oleh Rasulullah SAW dan berkata: datanglah kepada Umar dan sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan kepada mereka, bahwa mereka akan dituruni hujan. Bilal lalu dating kepada kholifah Umara dan menyampaikan berita tersebut. Umar menangis dan orang-orang dituruni hujan."

Di mana letak penggunaan dalil hadits tersebut?Letak penggunaan dalil dr hadits tersebut adalah perbuatan Bilal bin Al-Harits, seorang sahabat Nabi SAW yang tidak diprotes oleh kholifah Umar maupun sahabat-sahabat Nabi lainnya. Imam ad-Darimi juga mentakhrij sebuah hadits:

إن أهل المدينة قحطوا قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة رضي الله عنها فقالت انظروا إلى قبر النبيّ صلى الله عليه وسلّم فاجعلوا منه كوى إلى السماء حتى يكون بيبه وبين السماء سقف ففعلوا فمطروا مطرا شديدا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتي تفتقن فيسمّى عام الفتقة

"Sesungguhnya penduduk Madinah mengalami paceklik yang amat parah, karena langka hujan. Mereka mengadu kepada Aisyah ra dan ia berkata: "lihatlah kamu semua ke kuburan Nabi SAW lalu buatlah lubang terbuka yang mengarah ke arah langit, sehingga antara kuburan beliau dan langit tidak ada atap yang menghalanginya. Meeka melaksanakan perintah Aisyah, kemudian mereka dituruni hujan yang sangat deras, hingga rumput-rumput tumbuh dan unta menjadi gemuk."

Ringkasnya, tawasul itu dibolehkan, baik dengan amal perbuatan yang baik maupun dengan hamba-hamba Allah yang soleh, baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal dunia. Bahkan tawasul itu telah berlaku sebelum Nabi Muhammad diciptakan.
Apa dalil bahwa tawasul terjadi sebelum Nabi Muhammad SAW diciptakan?

Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Umar bin al-Khottob:

"Ketika Nabi Adam terpeleset melakukan kesalahan, maka berkata,

"Hai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan haq Muhammad, Engkau pasti mengampuni kesalahanku."

Allah berfirman: "Bagaimana kamu mengetahui Muhammad, padahal belum Aku ciptakan?"

Nabi Adam berkata: "Hai Tuhanku, karena Engkau ketika menciptakanku dengan tangan kekuasaan-MU, aku mengangkat kepalaku kemudian aku melihat ke atas tiang-tiang arsy tertulis La ilaaha illa Allah. Kemudian aku mengerti, sesungguhnya Engkau tidak menyandarkan ke nama-MU, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai."

Kemudian Allah berfirman: "Benar engkau hai adam. Muhammad adalah makhluk yang paing Aku cintai. Apabila kamu memohon kepada-Ku dengan hak Muhammad, maka Aku mengampunimu, dan andaikata tidak karena Muhammad maka Aku tidak menciptakanmu." (HR. al-Hakim, at-Thobroni dan al-Baihaqi).

Nabi Adam as adalah orang yang mula-mula tawasul dengan Nabi Muhammad SAW.

Imam Malik telah memberi anjuran tawasul kepada Khalifah al-Mansur, yaitu ketika ia ditanya oleh kholifah yang sedang berada di masjid Nabawi:

Saya sebaiknya menghadap kiblat dan berdo'a atau menghadap Nabi SAW?"

Imam Malik berkata kepada kholifah, "Mengapa engkau memalingkan wajahmu dari beliau, padahal beliau adalah wasilahmu dan wasilah bapakku Nabi Adam as.kepada Allah SWT. Menghadaplah kepada beliau dan mohonlah pertolongan dengannya, Allah akan memberinya pertolongan dalam apa yang engkau minta."

Allah befirman:

"Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisa' :64).

Keterangan ini disebutkan oleh al-Qodli ‘Iyadl dalam kitab as-Syifa'.

Bagaimana cara tawasul?

Para ulama telah menerangkan, bahwa tawasul dengan dzat-dzat yang mulia, seperti Nabi SAW, para Nabi dan hamba-hamba Allah itu ada tiga macam, yaitu:

* Memohon (berdoa) kepada Allah SWT.dengan meminta bantuan mereka. Contoh:

اللهم إني أسألك بنبيك محمد أو بحقه عليك أو أتوجّه به إليك في كذا....

"Ya Allah, saya memohon kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad atau dengan hak beliau atas Kamu atau supaya saya menghadap kepada-Mu dengan Nabi SAW untuk..."

* Meminta kepada orang yang dijadikan wasilah agar ia memohon kepada Allah untuknya agar terpenuhi hajat-hajatnya seperti:

يا رسول الله، ادع الله تعالى أن يستقينا أو...

"Ya Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah SWT agar Dia menurunkan hujan atau..."

* Meminta sesuatu yang dibutuhkan kepada orang yang dijadikan wasilah, dan meyakininya hanya sebagai sebab Allah memenuhi permintaannya karena pertolongan orang yng dijadikan wasilah dank arena doanya pula. Cara ketiga ini sebenarnya sama dengan cara kedua.

Tiga macam cara tawasul ini semua berdasarkan nash-nash yang shahih dan dalil-dalil yang jelas. Apa dalil tawasul dengan cara yang pertama?

Dalil tawasul dengan cara yang pertama adalah hadits-hadits Nabi SAW antara lain:

"Dari Autsman bin Hunaif ra:

Sesungguhnya seorang laki-laki tuna netra datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Ya Rasululah, berdo'alah kepada Allah agar menyembuhkan saya."

Beliau bersabda, "Jika engkau mau, berdoalah. Dan jika engkau mau bersabarlah (dengan kebutaan) karena hal itu (sabar) lebih baik untuk kamu."

Laki-laki itu berkata: "berdo'alah untuk saya, karena mataku benar-benar benar-benar memberatkan (merepotkan)ku."

Kemudian Nabi SAW memerintahkan si laki-laki itu agar berwudlu, shalat dua rakaat, lalu berdoa seperti doa dalam hadits yang arti doa itu adalah: "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad, nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku melalui kamu menghadap kepada Tuhanku dalam urusan hajatku ini, agar hajat itu dikabulkan kepadaku. Ya Allah, tolonglah beliau dalam urusanku."

Si laki-laki itu melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW kemudian pulang dalam keadaan dapat melihat."

Renungkanlah bagaimana Nabi SAW tidak berdoa sendiri untuk kesembuhan mata si tuna netra, tetapi beliau mengajarkan kepadanya cara berdoa dan menghadap kepada Allah melalui kedudukan diri beliau dan memohon kepada Allah agar meminta bantuan dengan beliau. Dalam hal ini, ada dalil yang jelas tentang kesunahan tawasul dan meminta bantuan dengan dzat Nabi Muhammad SAW.

Ajaran tawasul dalam doa yang disebutkan pada hadits tersebut tidak khusus untuk laki-laki tuna netra itu saja, tetapi umum untuk umatnya seluruhnya, baik semasa beliau masih hidup atau sesudah wafat. Pemahaman rawi dalam menghadapi hadits itu dapat dijadikan hujjah sebagaimana diuraikan dalam ilmu ushul.

Apa dalil tawasul dengan cara kedua?

Dalilnya banyak, diantaranya:

"Dari Anas ra.ia berkata:

Ketika Nabi SAW berkhutbah pada hari Jum'at, tiba-tiba ada seorang laki-laki masuk dar pintu masjid dan langsung menghadap kepda Nabi SAW seraya berteriak:

"Hai Rasulullah, harta benda telah binasa dan jalan-jalan telah putus, maka berdoalah kepada Allah supaya menghujani kami.

Rasulullah SAW.lalu mengangkat tangan dan berdo'a, "Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami tiga kali.

Anas berkata: "Demi Allah kami melihat awan di langit dan kami hari itu dituruni hujan begitu juga hari berikutnya.

Kemudian si laki-laki itu atau orang lainnya datang dan berkata: "Ya Rasulullah rumah-rumah ambruk dan jalan-jalan terputus.

"Kemudian Beliau berdoa: "Allah, turunkanlah hujan disekitar kita bukan diatas kita," kemudian awan terbelah dan kami keluar berjalan di bawah sinar matahari.

Di dalam hadits yang shahih ini ada petunjuk atau dalil, bahwa setiap orang disamping boleh berdoa (memohon) kepada Allah secara langsung, boleh juga boleh juga mengunakan perantara orang-orang yang dicintai Allah yang dijadikan oleh-Nya sebagai sebab terpenuhinya hajat hamba-hambanya.

Disamping itu, karena manusia ketika melihat dirinya masih berlepotan dosa yang membuatnya jauh dari Allah yang tentu saja merasa layak ditolak permohonannya. Sebab itu, ia menghadap kepada Allah melaui orang-orang yang dicintai-Nya, ia memohon kepada Allah denga kedudukan dan kemuliaan para kekasih-Nya, agar Allah mengabulkan hajatnya karena hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya yang mereka itu tidak tahu apa-apa kecuali ta'at kepada-Nya.

Apa dalil tawasul yang ketiga?

Dalilnya banyak antara lain:

Dari Rabi'ah bin Malik al-Aslami ra.ia berkata Nabi SAW bersabda kepadaku: "Mintalah apa saja yang kamu inginkan." Saya berkata: "Saya memohon kepada-Mu dapat bersama-Mu di surga." Beliau bersabda: "Selain itu?" Saya berkata: "Hanya itu." Kemudian beliau bersabda: "Bantulah saya untuk memenuhi keinginanmu dengan memperbanyak sujud." (HR. Imam Muslim).

أن قتادة نعمان أصيب بسهم في عينه عند يوم أحد فسالت على خدّه فجاء إلى رسول الله وقال عيني يارسول الله فخيره بين الصبر وبين أن يدعو له فاختار الدعاء فردّها عليه السلام بيده الشريفة إلى موضعها فعادت كما كانت

Sesungguhnya Qotadah bin Nu'man pada waktu perang Uhud matanta terkena panah sampai keluar ke pipinya, lalu dating kepada Nabi SAW dan berkata: "mataku Ya Rasulullah." Beliau memberinya pilihan antara sabar dengan sakit pada matanya itu dan beliau berdoa untuk kesembuhannya. Qotadah memilih agar Rasulullah menyembuhkannya melalui doa. Kemudian beliau mengembalikan mata Qotadah ke tempatnya semula dengan mata beliau yang mulia sehingga kembali normal seperti semula."

Hukum Ziaroh

Apa hukum ziarah kubur?

Ziarah ke kuburan untuk orang laki-laki sunnah hukumnya. Sebelumnya, yaitu pada permulaan islam ziarah ke kubur memang dilarang. Lalu hukum larangan ini dinasakh dengan sabda Nabi SAW dan perbuatannya.

Ada beberapa hadits berkaitan dengan ziarah kuburan, antara lain:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها

"Dulu saya telah melarang kamu semua ziarah ke kuburan, maka (sekarang) berziarahlah ke kuburan)." (HR. imam Muslim)

كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها فإنها ترق القلب وتدمع العين وتذكر الأخرة

"Dulu saya telah melarang kamu semua ziarah ke kuburan, maka (sekarang) berziarahlah ke kuburan, sebab ziarah kubur itu dapat melunakkan hati, mencucurkan air mata dan mengingatkan akhirat."

Para ulama menjelaskan bahwa ziarah ke kuburan itu termasuk hal yang biasa dilakukan oleh Nabi SAW dan para sahabat beliau juga melakukannya. Semasa beliau belum wafat, Nabi SAW juga mengajarkan kepada sahabatnya tata cara ziarah kubur, ntuk mengingat dan mengambil pelajaran. Sampai saat ini ziarah kubur itu masih berlaku di berbagai daerah, kota dan pedesaan.

Apa hukum ziarah kubur bagi kaum wanita?

Lama menerangkan, bahwa ziarah kubur bagi wanita itu makaruh hukumya, karena dikhawatirkan jiwanya selau sedih, mengingat kaum wanita gampang susah dan jarang yang bias menahan sabar terhadap musibah, terkecuali ziarah ke kuburan para wali, orang-orang sholeh dan lama. Mereka tetap disunahkan untuk mendapatkan barokah. Sebagian ulama membolehkan kaum wanita berziarah ke kubur secara mutlak, berdasarkan hadits Nabi SAW:

أنه صلى الله عليه وسلّم رأى امرأة بمقبرة تبكي على قبر ابنها فقال لها اتقى الله واصبري

"Sesungguhnya Nabi SAW melihat seorang wanita di atas kuburan dengan menangis diatas kuburan anaknya, kemudian beliau bersabda kepadanya: "Takutlah kepada Allah dan bersabarlah". HR. Bukhori dan Muslim).

Dalam hadits di atas, Rasulullah menyuruh wanita agar bersabar dan tidak mengingkarinya ziarah kubur.

السلام عليكم أهل الديار من المؤمنين والمسلمين ويرحم الله المستقدمين منّا والمستأخرين وإنّا إن شاء الله بكم لاحقون

"Sesungguhnya Nabi SAW mengajarkan Aisyah do'a ketika berziarah ke kuburan beliau bersabda: "ucapkan:

Bagaimana halnya dengan sabda Nabi SAW Allah melaknat wanita wanta peziarah kubur?

Menurut ulama ahli tahqiq, hadits tersebut ditakwil, jika ziarah wanita-wanita itu untuk meratapi dan menangisi yang meninggal, seperti yang berlaku di masyarakat jahiliyah, maka ziarah kubur seperti itu jelas haram berdasarkan ijma'. Apabila bersih dari hal-hal tersebut maka tidak diharamkan dan tidak termasuk dalam ancaman hadits tersebut.

Apa hukum melakukan perjalanan ziarah ke makan Rasulullah SAW, makam para Nabi dan para wali?

Ziarah ke makam Rasulullah SAW, merupakan salah satu perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Demikian juga perjalanan menuju ke tempat beliau dan juga ke tempat-tempat para Nabi, para wali dan para syuhada' untuk mendapatkan barokah dari Allah dan mengambil I'tibar. Perjalanan seperti itu hukumnya mustahab dan banyak faedahnya. Yang terpenting adalah harus dapat menjaga adab (tata cara) menurut syari'at.

Apa dalil kesunahan perjalanan ziarah itu?

Dalilnya adalah firman Allah SWT:

"Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisa' :64).

Dalam hadits pun telah dijelaskan, bahwa Nabi SAW tetap hidup di dalam kuburannya. Dengan demikian, berarti ziarah kepada beliau sesudah wafat seperti ziarah kepada beliau saat hidup. Dasarnya adalah hadits:

من حجّ فزار قبري بعد وفاتى فكأنما زارني في حياتي

"Barangsiapa menunaiakan ibadah ahji, lalu ziarah ke kuburku sesudah aku wafat, maka ia seperti ziarah kepadaku sewaktu aku dalam keadaan hidup." (HR. Thabrani).

من حج لم يزرني فقد جفاني

"Barangsiapa menunaikan ibadah haji dan enggan berziarah kepadaku, ia benar-benar juh."

Larangan menyentuh Alqur'an sebelum wudlu

Salah satu bentuk pengagungan al-qur'an adalah larangan menyentuhnya apabila tidak suci (hadats). Apakah dalil para ulama' terhadap hukum ini?

Larangan berasal dari firman Allah SWT:

"Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Yamg diturunkan dari Tuhan semesta alam." (QS. Al-Waqi'ah: 79-80).

Atas dasar ini para ulama menyatakan bahwa haram hukumnya menyentuh Al-Qur'an bila tidak punya wudlu.

Syaikh Zainudddin al-Malibari menyatakan:

"Haram sebab hadats kecil, melakukan sholat, thawaf, sujud (yakni sujud tilawah dan sujud syukur), membawa mushaf dan menyentuh kertas yang ditulisi ayat al-Qur'an, walaupun hanya sebagian ayat." (fath al-Mu'in, hal 10).

Menyentuh lsin jenis bukan Mahram

Apakah menyentuh lain jenis dapat membatalkan wudlu?

Menurut pendapat Imam Syafi'I ra, menyentuh lain jenis yang bukan mahram itu membatalkan wudlu, baik yang menyentuh atau orang yang disentuh. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-Fath al-Manhaji:

"Seorang lak-laki yang menyentuh istrinya atau perempuan ajnabiyah (yang bukan mahramnya) tanpa penghalang maka wudlu laki-laki dan perempuan itu menjadi batal. Yang dimaksud dengan ajnabiyah (perempuan lain) adalah setiap wanita yang halal dinikahi." (al-Fiqh al-Manhaji, juz I, hal 63).

Pendapat ini didasarkan firman Allah SWT.: "Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)". (QS. An-Nisa' : 43).

Hukum Lafal Usholli

Bagaimana hukum mengucapkan niat (lafal usholli dan seterusnya) ketika hendak melakukan sholat?

Niat merupakan inti dari setiap pekerjaan. Sebab, baik tidaknya pekerjaan itu tergantung pada niatnya. Sebagaimana sabda Nabi SAW.:

"Segala perbuatan hanyalah tergantung niatnya. Dan setiap perkara tergantung pada apa yang diniatkan." (Shohih al-Bukhori, no 1).

Demikian juga dalam sholat. Niat adalah rukun yang pertama. Akan tetapi, karena niat tempatnya di dalam hati maka disunnahkan mengucapkan niat tersebut dengan lisan untuk membantu gerakan hati (niat).

Imam Ramli (wafat tahun 1004 H.) dalam kitabnya Nihayah al-Muhtaj mengatakan:

"Disunnahkan mengucapkan apa yang diniati (kalimatusholli) sebelum takbir, agar supaya lisan bias membantu hati, sehingga bias terhindar dari was-was (keragu-raguan) hati akibat bisikan syetan). Dan agar bias keluar dari pendapat ulama yang mewajibkan.

Dalam beberapa kessempatan Nabi SAW pernah melafalkan niat. Misalnya dalam ibadah haji. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

عن أنس رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلّم يقول لبّيك عمرة وحجا

"Dari sahabat Anas ra berkata, saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan, Labbaika aku sengaja mengerjakan umrah dan haji." (Shahih Muslim, no 2168).

Membaca Tahmid dalam Sujud&Ruku'

Ketika melakukan ruku' dan sujud, disunahkan membaca tasbih (kalimat subhanallah).

Hanya saja banyak orang yang menambah dengan tahmid (yaitu bacaan wa bihamdihi). Bagaimana hukum menambah bacaan tahmid tersebut?

Membaca tasbih ketika ruku' dan sujud memang sudah menjadi kebiasaan Rasulullah SAW dalam shalat. Banyak hadits beliau yang menerangkan hal tersebut. Antara lain hadits beliau yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra:

عن عائشة رضي الله عنها قالت أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول في ركوعه وسجوده: سبّوح قدّوس ربّ الملائكة والروح.

"Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, beliau berkata bahwa Rasulullah membaca subbuh quddus rab al-malaikat wa al-ruh ketika ruku' dan sujud." (Musnad Ahmad bin Hambal, no 24877)

Dalam hadits lain disebutkan:

"Diriwayatkan dari Hudzaifah ra, beliau berkata, "aku pernah shalat bersama Nabi SAW. Lalu beliau membaca subhana robbiyal adzimi dalam ruku'nya. Dan ketka sujud membaca subhana rab al-a'la. Dan setiap beliau membaca ayat rahmat, Nabi SAW diam lalu berdo'a (agar rahmat tersebut diberikan kepadanya), sedangkan pada saat membaca ayat tentang siksa Allah SWT (adzab) beliau selalu memohon perlindungan kepada Allah SWT." (Sunan al-Darimi, no 1273).

Kedua hadits ini tidak menyebutkan kata-kata wabihamdihi.

Apakah lalu membaca wabihamdihi termasuk bid'ah. Karena tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW? Tentu saja tidak, sebab dalam hadits lain disebutkan:

"Rabi' bin Nafi' menceritakan kepada kami, dari Uqbah bin Amir ra, beliau berkata: Bertasbihlah kamu kepada Tuhanmu Yang Maha Agung," Rasulullah SAW lalu bersabda, "Jadikanlah bacaan itu dalam setiap ruku'mu." Manakala turun ayat "Bertasbihlah kepada Tuhanmu Yang Maha Tinggi," Rasulullah kemudian bersabda, kerjakanlah perintah itu dalam setiap sujudmu." (ada riwayat lain) bahwa ahmad bin Yunus menceritakan kepada kami sebuah hadits yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir ra dengan kandungan yang sama, beliau berkata bahwa Rasulullah SAW kalau ruku' beiau mengucapkan subhana robbi al- adzimi wa bihamdihi tiga kali." (Sunan Abi Dawud, no 736).

Dari sini menjadi jelas bahwa Rasulullah SAW juga menambahkan wabihamdihi di dalam ruku' dan sujudnya.

Hukum Basmalah dalam Sholat

Bagaimana hukum membaca basmalah (bismillahirrohmaanirrohiim) dalam surat al-Fatihah ketika sholat? Dan kalau wajib, apakah harus dikeraskan bacaannya?

Membaca surat al-Fatihah merupakan rukun sholat, baik dalam sholat fardlu maupun shalat sunnah, hal ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:

عن عبادة بن الصامت يبلغ به النبي صلى الله عليه وسلّم لاصلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب

"Dari ‘Ubadah bin as-Sholit, Nabi SAW menyampaikan padanya bahwa tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca surat al-Fatihah". (Shohih Muslim, no 595).

Sementara basmalah merupakan ayat dari surat al-Fatihah. Maka tidak sah jika seseorang shalat tanpa membaca basmalah berdasarkan firman Allah SWT.:

"Dan Sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang[814] dan Al Quran yang agung." (QS. Al-Hijr: 87).

Yang dimaksud tujuh yang berulang-ulang adalah surat al-Fatihah. Karena al-Fatihah itu terdiri dari ayat-ayat yang dibaca secara berulang-ulang pada tiap-tiap raka'at shalat. Dan ayat yang pertama adalah basmalah.

Dalam sebuah hadits disebutkan:

"Dari Abi Hurairah beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda, "al-hadulillahi robbil ‘alamiin merupakan induk al-Qur'an, pokoknya al-Kitab serta surat al-Sab'u al-Matsani." (Sunan Abi Dawud, no 1245).

Berdasarkan dalil ini, imam Syafi'I ra mengatakan bahwa basmalah merupakan bagian dari ayat yang tujuh dalam surat al-Fatihah, jika ditinggalkan baik seluruhnya maupun sebagian, maka raka'at shalatnya tidak sah.

Membaca Sayyidina ketika tasyahud

Bagaimana hukumnya melafalkan sayyidina ketika membaca Tasyahud?

Kata-kata sayyidina sering kali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun diluar shalat. Hal itu termasuk hal yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi SAW. Syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:

"Yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW) karena yang lebih utama (dengan menggunakan sayyidina itu) adalah cara beradab (bersopan santun pada Nabi SAW)." (Hasyiyah al-Bajuri, juz I hal 156).

Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:

عن ابي هريرة قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم أنا سيد ولد آدم يوم القيامة وأوّل من ينشق منه القبر وأوّل شافع وأوّل مشفع

"Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Saya gusti (penghulu) anak Adam pada hari kiamat, orang yang pertama bangkit dari kuburan, orang yang pertama memberikan syafa'at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa'at." (Shohih Muslim, no 4223).

Hadits ini menyatakan bahwa Nabi SAW menjadi Sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya di hari kiamat saja. Bahkan beliau SAW menjadi tuan (sayyid) manusia di dunia dan akhirat.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani dalam kitabnya Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush bain al-Nadzariyat wa al-Tatthbiq:

"Kata Sayyidina ini tidak hanya tertentu untuk NAbi Muhammad SAW di hari kiamat saja, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang dari beberapa riwayat hadits. "Saya adalah sayyid-nya anak cucu Adam di hari kiamat. Tapi Nabi SAW menjadi sayyid keturunan Adam di dunia dan akhirat". (Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush bain al- Nadzoriyat wa Tathbiq, 169)

Ini sebagai indikasi bahwa Nabi SAW membolehkan memanggil beliau dengan sayyidina. Karena memang kenyataannya begitu,. Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan kita umat manusia yang harus kita hormati sepanjang masa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membaca sayyidina katika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW bole-boleh saja, bahkan dianjurkan. Demikian pula ketika tasyahud di dalam shalat.

Hukum Qunut

da sebagian kalangan yang beranggapan kalangan yang beranggapan bahwa qunut subuh tidak sunnah.

Bahkan haram hukumnya, karena Rasulullah SAW tidak melakukannya. Bagaimanakah sebenarnya hokum membaca qunut dalam shalat subuh? Apakah benar Rsulullah tidak melakukannya?

Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa hukum membaca qunut pada sholat shubuh termasuh sunnah ab'ad. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya al-Majnu':

"Dalam madzhab kita (madzhab Syafi'i) disunnahkan membaca qunut dalam sholat shubuh, baik ada bala' (cobaan, bencana, adzhab dll) maupun tidak, inilah pendapat kebanyakan ulama' salaf dan setelahnya. Diantaranya adalah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin al-Khottob, Utsman bin Affan, Ali bin Abbas dan al-Barro' bin ‘Azib ra." (al-Maju',juz 1 hal 504).

Dalil yang bisa dijadikan acuan adalah hadits Nabi SAW:

"Diriwayatakan dari Anas bin Malik ra beliau berkata, "Rasulullah SAW senantiasa membaca qunut ketika sholat shubuh sehingga beliau wafat." (Musnad Ahmad bin Hambal, no 12196).

Sedangkan do'a qunut yang warid (diajarkan langsung) oleh Nabi SAW adalah:

اللهمّ اهدنا فيمن هديت، وعافنا فيمن عافيت، وتولّنا فيمن تولّيت، وبارك لنا فيما أعطيت، وقنا شرّ ما قضيت، فإنك تقضى ولايقضى عليك، وإنه لايذلّ من واليت، ولايعزّ من عاديت، تباركت ربنا وتعاليت، فلك الحمد على ما قضيت، أستغفرك وأتوب إليك

"Ya Allah berilah kami petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah kami kesehatan seperti orang-orang yang telah Engkau beri kesehatan. Berilah kami perlindungan sebagaimana orang-orang yang Engkau beri perlindungan. Berilah berkah kepada segala yang telah Engkau berikan kepada kami. Jauhkanlah kami dari segaa kejahatan yang Engkau pastikan. Sesunggunya Engkau Dzat Yang Maha Menentukan dan Egkau tidak dapat ditentukan. Tidak akan hina orang yang Engkau lindungi. Dan tidak akan mulia orang yang Kamu musuhi. Engkau Maha Suci dan Maha luhur. Segala puji bagi-Mu atas segala yang Engkau pastikan. Kami mohon ampunan dan bertaubat kepada-Mu."

Dengan demikian membaca qunut shubuh dalam segala keadaan itu hukumnya sunnah. Karena Nabi Besar Muhammad SAW selalu melakukannya hingga beliau wafat.

Mengangkat telunjuk ketika bacaan illalloh

Dalam tahiyat ketika membaca illallah, biasanya orang yang sholat mengangkat jari telunjuknya. Adakah dasar hukumnya? Lalu apa hikmah yang dikandung?

Ulama' Syafi'iyah menganjurkan untuk meletakkan kedua tangn diatas paha ketika sedang duduk tasyahud. Sementara jari-jari tangan kanan digenggam, kecuali jari-jari telunjuk dan ketika membaca illallah jari telunjuk tersebut sunnah diangkat tanpa digerak-gerakkan, dalam sebuah hadits dijelaskan:

"Diriwayatkan dari Ali bin Abdirrohman al-Mu'awi, beliau bercerita bahwa pada suatu saat Ibnu Umar ra melihat saya sedang mempermainkan kerikil ketika shoat. Ketika saya selesai shalat, beliau menegur saya lalu berkata, "(Apabila kamu sholat) maka kerjakan sebagaimana yang dilaksanakan Rasulullah SAW (dalam shalatnya). Ibnu Umar berkata, "Apabila Nabi Muhammad SAW duduk ketika melaksanakan sholat, beliau meletakkan telapak tangan kanannya dan menggenggam semua jarinya. Kemudian berisyarah dengan (menganggkat) jari telunjukknya (ketika mengucapkan illallah), dan meletakkan telapak tangan kirinya diatas paha kirinya". (Shahih Muslim, no 193).

Hadits inilah yang dijadikan dasar para ulama tentang kesunahan mengangkat jari telunjuk ketika tasyahud. Sedangkan dari hikmah tersebut adalah supaya kita meng-esakan Allah SWT. Seluruh tubuh kita men-tauhidkan-Nya dipandu oleh jari telunjuk itu.

Syeikh Ibnu Ruslan dalam kitab Zubadnya mendendangkan sebuah syair:

وعند إلا الله فالمهملة (*) إرفع لتوحيد الذي صلّيت له

"Ketika mengucapkan illallahu, maka angkatlah jari telunjukmu untuk mengesakan Dzat yang engkau sembah."(Matan az-Zubad, hal 24).

Jadi, mengangkat jari telunjuk ketika tasyahud itu disunnahkan karena merupakan teladan Nabi Muhammad SAW. Perbuatan itu dimaksudkan sebagai symbol sarana untuk mentauhidkan Allah SWT.

Mengusap Wajah setelah Sholat

Salah satu kebiasaan yang sering kita lihat, setiap selesai dalam shalat, orang-orang mengusap wajah dengan tangan kanannya. Bagaimana hukumnya?

Setelah berdoa Rasulullullah SAW selalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Dalam sebuah hadits disebutkan:

عن السائب بن يزيد عن أبيه أنّ النبي صلّى الله عليه وسلّم كان إذا دعا فرفع يديه مسح وجهه بيده

"Dari Sa'ib bin Zayid dari ayahnya, "Apabila Rasulullah SAW berdoa beliau selalu mengangkat kedua tangannya lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangnnya." (Sunan Abu Dawud, no 1275).

Begitu pula orang yang telah selesai melaksanakan shalat, ia juga disunahkan mengusap wajah dengan kedua tangannya. Sebab sholat secara bahasa berarti berdoa, karena didalamnya terkandung doa-doa kepada Allah SWT sang Kholik. Sehingga oaring yang mengerjakan sholat juga sedang berdoa. Maka wajar jika setelah sholat ia juga disunahkan mengusap muka.

Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar mengutip hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW selalu mengusap wajah dengan tangan, sekaligus tentang doa yang beliau baca setelah salam:

عن عِمران بن حُصَين رضي الله عنه أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: صلّ قائما، فإن لم تستطع فقاعدا فإن لم تستطع فعلى جنبك أى: لاتقطعون ذِكره في جميع أحوالهم بسرائرهم وضمائرهم وألسنتهم

"Kami meriwayatkan (hadits) dalam kitabnya Ibn al-Sunni dari sahabat Anas ra bahwa Rasulullah SAW apabila setelah selesai melaksanakan sholat beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya.. lalu berdoa, "saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Dia Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah hilangkanlah dariku kebingungan dan kesusahan." (al-Adzkar, hal 69).

Hal ini menjadi bukti bahwa mengusap muka setelah sholat memang dianjurkan dalam agama. Karena Nabi Muhammad SAW juga mengusap muka setelah shalat.

Bersalaman setelah Sholat

Sudah berlaku di masyarakat, setiap selesai sholat, satu jamaah dengan yang lainnya saling bersalaman. Itu dilaksanakan pada sholat yang lima waktu. Adakah dasar ukumnya?

Bersalaman antar sesama muslim memang sangat dianjurkan oleh Nabi SAW. Hal itu dimaksudkan agar persaudaraan islam semakin kuat dan persatuan umat islam semakin kokoh.

Salah satu bentuknya adalah anjuran untuk bersalaman apabila bertemu. Bahkan jika ada saudara muslim yang dating dari bepergian jauh, misalnya habis melaksanakan ibadah haji, maka disunahkan berangkulan (mu'anaqoh). Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bbersabda:

"Diriwayatkan dari al-Barro' bin ‘Azib, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda "Tidakkah dua orang laki-laki bertemu, kemudian keduannya bersalaman, kecuali diampuni dosanya sebelum mereka berpisah." (Sunan ibn Majah, no 3693).

Berdasarkan hadits inilah ulama' Syafi'iyah mengatakan bahwa bersalaman setelah sholat hukumnya sunnah. Kalaupun perbuatan itu dikatakan bid'ah, tetapi termasuk dalam kategori bid'ah mubahah. Imam Nawawi menganggap bahwa hal itu adalah perbuatan yang baik untuk dilakukan.

"(Soal) apakah berjabat tangan setekah sholat Ashar dan Shubuh memiliki keutamaan ataukah tidak? (jawab) berjabat tangan itu sunnah dilakukan ketiak bertemu. Adapun orang-orang yang mengkhususkan diri untuk melakukannya setelah dua sholat itu (Ashar dan Shubuh) maka dianggap bid'ah mubahah. (pendapat yang dipilih), sesungguhnya kalua seseorang sudah berkumpul dan bertemu sebelum sholat, maka berjabat tnagn tersebut adalah bid'ah mubahah sebagaimana diatas. Tapi jika sebelumnya belum pernah bertemu maka sunnah (bersalaman). Karena seperti itu (dianggap) baru bertemu." (Fatwa al-Imam al-Nawawi, hal 61).

Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang sholat itu sama dengan orang yag ghoib (tidak ada ditempat karena berpergian atau yang lainnya). Setelah sholat ia seakan akan baru datang dan bertemu dengan saudaranya yang muslim. Maka ketika tu dianjurkan untuk berjabat tangan.

Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsydin:

"Bersalaman itu termasuk bid'ah yang muah, dan Imam al-Nawawi menganggapnya sesuatu yang baik. Tapi hendaknya di tafshil (diperinci), antara orang yang sebelum sholat sudah bertemu, maka salaman itu hukumnya ubah (boleh). Dan jika memang sebelumnya tidak bersama (tidak bertemu) maka dianjurkan (untuk salaman setelah salam). Karena salaman itu disunahkan ketika bertemu menurut ujma' ulama'. Sebagian ulama berpendapat bahwa orang-orang yang sholat seperti orang-orang yang ghoib (tidak ada/tidak bertemu). Maka baginya disunahkan bersalaman setiap selesai sholat lima waktu secara mutlak (baik sudah bertemu sebelumnya atau tidak)." Bughyah al-Mustarsyidin, hal 50-51).

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum bersalaman setelah selesai sholat adalah boleh bahkan sunnah jika sebelum sholat memang belum pernah bertemu.

Dzikir Berjama'ah

Tetapi apakah ada aturan berdzikir secara jamaah sebagaimana dilakukan jamaah NU?
وَاصبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدَاةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridlaan NYA; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka…

Di samping ayat disebutkan diatas, diantara ayat yang biasa anda dan kyai NU pahami sebagai anjuran dzikir berjama'ah adalah

"(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. 3:191)

Ayat di atas, dianggap sebagai dalil yang membolehkan dzikir berjamaah karena menggunakan sighat (konteks) jama' (plural) yaitu yadzkuruna. Menurut kyai NU jama' berarti banyak dan banyak artinya bersama-sama. Pengambilan dalil semacam ini menurut saya adalah tidak benar, karena tidak setiap kalimat yang disampaikan dalam bentuk jama' harus dipahami bahwa itu dilakukan dengan bersama-sama.

Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Khumayyis, penulis makalah "Adz-Dzikr al-Jama'i baina al-Ittiba' wal ibtida' (telah dibukukan dengan judul yang sama), menjelaskan bahwa sighat (konteks) jama' dalam ayat di atas adalah sebagai anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh kepada semua umat Islam untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wata'ala tanpa kecuali, bukan anjuran untuk melakukan dzikir berjama'ah.

Selain itu jika sighat (konteks) jama' dalam ayat tersebut dipahami sebagai anjuran untuk melakukan dzikir secara berjama'ah atau bersama-sama maka kita akan kebingungan dalam memahami kelanjutan ayat tersebut. Disebutkan bahwa dzikir itu dilakukan dengan cara berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim). Nah bagaimanakah praktek dzikir bersama-sama dengan cara berdiri, duduk dan berbaring itu? Apakah ada dzikir berjama'ah dengan cara seperti ini? Permasalahan lainnya adalah bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat berada di samping beliau. Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat memahami ayat tersebut sebagai perintah untuk dzikir bersama-sama satu suara?

Kalau anda menyatakan bahwa lafadz jama' itu tidak selalu bersama-sama, maka bisakah anda menunjukkan bahwa lafadz jama' itu tidak mungkin dimaknakan bersama-sama? Bagaimanakah dengan kisah para sahabat yang berdoa bersama Rasul saw dengan melantunkan syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit) Rasul saw dan sahabat2 radhiyallhu ‘anhum bersenandung bersama sama dengan ucapan:

"HAAMIIIM LAA YUNSHARUUN.." (lihat Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwat Khandaq).

Perlu anda ketahui bahwa sirah Ibn Hisyam adalah buku sejarah yg pertama ada dari seluruh buku sejarah, yaitu buku sejarah tertua. Karena ia adalah Tabi'in. Sehingga akurasi sumber datanya lebih valid. Begitu juga pada waktu para sahabat membangun saat membangun Masjidirrasul saw: mereka bersemangat sambil bersenandung:

"Laa 'Iesy illa 'Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah"

Setelah mendengar ini maka Rasul saw pun segera mengikuti ucapan mereka seraya bersenandung dengan semangat:

"Laa 'Iesy illa 'Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhajirah ..." (Sirah Ibn Hisyam Bab Hijraturrasul saw- bina' masjidissyarif hal 116)

Ucapan ini pun merupakan doa Rasul saw demikian diriwayatkan dalam shahihain. Mengenai makna berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim). Tidakkah anda pernah shalat berjamaah? Bukankah shalat juga melafalkan dzikir? Bukankah shalat itu bisa berdiri, duduk dan tidur miring? Menafsiri ayat tersebut diatas Ibn Katsir mengutip hadits Nabi riwayat Bukhari:

عن عِمْران بن حُصَين، رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "صَلِّ قائما، فإن لم تستطع فقاعدا، فإن لَم تستطع فَعَلَى جَنْبِكَ أي: لا يقطعون ذِكْره في جميع أحوالهم بسرائرهم وضمائرهم وألسنتهم

Jadi ayat tersebut di atas lebih dititikberatkan kepada bagaimana tata cara orang shalat, namun secara umum dapat juga diartikan dzikir secara laf-dziy. Seseorang dapat berdzikir kepada Allah dengan segala tingkah sesuai kemampuannya. Kalau anda memaknakan bahwa dzikir berjamaah dengan tidur semua, duduk semua atau berdiri semua, manakah point yang menunjukkan itu? Bagaimana kalau dimaknakan bila dzikir itu dibaca berjamaah, kita dapat berdiri, duduk dan tiduran sesuai dengan kondisi kita? Berdiri karena tidak lagi kebagian tempat, tiduran karena kondisi tubuhnya tidak memungkinkan.

Sahabat Rasul radhiyallahu'anhum mengadakan shalat tarawih berjamaah, dan Rasul saw justru malah menghindarinya, mestinya andapun shalat tarawih sendiri sendiri, kalau toh Rasul saw melakukannya lalu menghindarinya, lalu mengapa Generasi Pertama yg terang benderang dg keluhuran ini justru mengadakannya dengan berjamaah. Sebab mereka merasakan ada kelebihan dalam berjamaah, yaitu syiar, mereka masih butuh syiar dibesarkan, apalagi kita dimasa ini.

Kalau anda tidak mau memaknakan kalimat jama' dengan arti bersama-sama, dari makna apa anda shalat tarawih berjamaah? Berdasar hadits dan ayat al Quran yang mana?

Kita Ahlussunnah waljama'ah berdoa, berdzikir, dengan sirran wa jahran, di dalam hati, dalam kesendirian, dan bersama sama. Sebagaimana Hadist Qudsiy Allah swt berfirman :

إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ

Bila ia (hambaKu) menyebut namaKu dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diriku, bila mereka menyebut namaKu dalam kelompok besar, maka Akupun menyebut (membanggakan) nama mereka dalam kelompok yg lebih besar dan lebih mulia". (HR Muslim).

Kita di majelis menjaharkan lafadz doa dan munajat untuk menyaingi panggung-panggung maksiat yg setiap malam menggelegar dengan dahsyatnya menghancurkan telinga, berpuluh ribu pemuda dan remaja MEMUJA manusia manusia pendosa dan mengelu elukan nama mereka.. menangis menjilati sepatu dan air seni mereka.., suara suara itu menggema pula di televisi di rumah rumah muslimin, di mobil2, dan hampir di semua tempat,

Salahkah bila ada sekelompok pemuda mengelu-elukan nama Allah Yang Maha Tunggal? Menggemakan nama Allah? Apakah Nama Allah sudah tak boleh dikumandangkan lagi dimuka bumi? Mewakili banyak hadits tentang dzikir berjamaah ini, perhatikan dan camkanlah hadits ini:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالُوا يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَتَحْمِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنْ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ هُمْ الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رواه البخارى

Sabda Rasulullah saw: "Sungguh Allah memiliki malaikat yg beredar dimuka bumi mengikuti dan menghadiri majelis majelis dzikir, bila mereka menemukannya maka mereka berkumpul dan berdesakan hingga memenuhi antara hadirin hingga langit dunia, bila majelis selesai maka para malaikat itu berpencar dan kembali ke langit, dan Allah bertanya pada mereka dan Allah Maha Tahu : "darimana kalian?" mereka menjawab : kami datang dari hamba hamba Mu, mereka berdoa padamu, bertasbih padaMu, bertahlil padaMu, bertahmid pada Mu, bertakbir pada Mu, dan meminta kepada Mu,

Maka Allah bertanya: "Apa yg mereka minta", Malaikat berkata: mereka meminta sorga, Allah berkata: apakah mereka telah melihat sorgaku? Malaikat menjawab: tidak, Allah berkata: "Bagaimana bila mereka melihatnya". Malaikat berkata: mereka meminta perlindungan Mu, Allah berkata: "mereka meminta perlindungan dari apa?" Malaikat berkata: "dari Api neraka", Allah berkata: "apakah mereka telah melihat nerakaku?" Malaikat menjawab tidak, Allah berkata: Bagaimana kalau mereka melihat neraka Ku. Malaikat berkata: mereka beristighfar pada Mu, Allah berkata: "sudah kuampuni mereka, sudah kuberi permintaan mereka, dan sudah kulindungi mereka dari apa apa yg mereka minta perlindungan darinya, malaikat berkata: "wahai Allah, diantara mereka ada si fulan hamba pendosa, ia hanya lewat lalu ikut duduk bersama mereka, Allah berkata: baginya pengampunanku, dan mereka (ahlu dzikir) adalah kaum yg tidak ada yg dihinakan siapa siapa yg duduk bersama mereka

Hukum Tahlil

Bagaimana hukumnya tahlil?

Mengapa hukumnya tahlil ditanyakan? Bukankah tahlil itu sighat masdar dari madzi hallala yang artinya baca Laa Ilaaha Illa Allah.

Bukan. Yang saya maksud adalah tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung itu.

Tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung, kota-kota bahkan seluruh penjuru adalah berisi bacaan Laa Ilaaha Illa Allah,Subhaana Allah wa bi Hamdihi, Astaghfirullah al Adzim, sholawat, ayat-ayat al Quran, fatihah, Muawwidzatain dan sebagainya apakah juga masih ditanyakan hukumnya?

Ijtihad

Betulkah pintu ijtihad pintu sudah tertutup?

Permasalahannya bukan sudah tertutup atau belum tertutup akan tetapi memandang telah lama (beratus-ratus tahun) pintu tidak pernah dimasuki orang.

Ijma' dan Qiyas

Berdasarkan hadits:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّّوْا بَعْدَهُمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِى

Maka landasan hukum di dalam Islam itu hanya dua, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Mengapa di dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i ada dua masukan sebagai landasan hukum, ijma’ dan qiyas?

Kalau menurut prinsip dari pendirian golongan syi’ah, memang ijma’ dan qiyas itu tidak dapat digunakan sebagai landasan Hukum. Akan tetapi bagi madzhab Syafi’i dan juga madzhab mu’tabar yang lain, menggunakan ijma’ dan qiyas sebagai landasan hukum itu, tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan Hadits, sebab Al-Qur’an dan Hadits sendiri juga memerintahkan supaya kita menggunakan Ijma’ dan Qiyas. Kami persilahkan baca Al-Qur’an ayat 115 di dalam surat An-Nisa’:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ اْلهَدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ اْلمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيْرًا.

Barang siapa menentang Rasul sesudah terang petunjuk baginya dan menuruti selain jalannya ornag-orang mu’min, maka Allah membiarkan akan dia bersama apa yang dia sukai, dan Allah akan memasukkan dia di dalam neraka jahannam, sejelek-jelek tempat kembali.

Hadits Shohihain:
لاَتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَتِى ظَاهِرِيْنَ عَلىَ اْلحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ خِلاَفُ مَنْ خَالَفَهُمْ.

Tidak henti-hentinya segolongan dari umatku, selalu terang-terangan bersama-sama membela hak (kebenaran), tidak mempengaruhi mereka tentangan orang-orang yang menentang kepadanya.

Kami persilahkan baca ayat surat Al-Hasyr:
فَاعْتَبِرُوْا يَا اُولِى اْلأَبْصَارِ

Maka ambil contohlah engkau, hai orang-orang yang mempunyai pengertian.

Surat Amirul Mu’minin Umar bin Khottob yang ditujukan kepada Abi Musa Al-Asy’ari:
َالْفَهْمَ اَلْفَهْمَ فِيْمَا اَدَّى إِلَيْكَ مِمَّا لَيْسَ فِى قُرْآنٍ وَلاَ فِى سُنَّةٍ، ثُمَّ قِسِ اْلأُمُوْرَ عِنْدَ ذَلِكَ

Pahamilah! Pahamilah! Di dalam apa yang datang kepadamu, daripada yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan sunah Rasul, kemudian kiaskanlah perkara-perkara itu ketika perkara-perkara itu tidak ada di dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Taqlid

Orang-orang ahli taqlid mengaku taqlid kepada Imam Syafi’i, padahal mereka hanya tahu Sulam Safinah, Fathul Qorib dan Fathul Mu’in. Apakah itu dapat dibenarkan?

Kitab-kitab Sulam Safinah, Fathul Qorib, dan lain sebagainya itu adalah kitab-kitab bermadzhab Syafi’i. mengapa tidak dapat dibenarkan?

Tetapi kadang-kadang Fathul Mu’in itu, di dalamnya terdapat keterangan-keterangan yang tidak cocok dengan apa yang terdapat dalam kitab Al-Um (Imam Syafi’i)?

Saudara jangan mengira bahwa kitab Imam Syafi’i itu hanya al-Um saja, tetapi ada lagi yang lain. Yaitu Al-Imla’ dan Al-Buwaity. Lain daripada itu, Imam Syafi’i juga mempunyai qoidah-qoidah yang qoidah-qoidah itu adalah poros daripada Al-Qur’an dan Hadits sehingga kalau ada sesuatu masalah yang tidak terdapat nashnya di dalam kitab-kitab Imam Syafi’i, masalah itu dapat diselesaikan dengan qoidah-qoidah Imam Syafi’i oleh para mujtahid madzhab, dan atau mujtahid fatwanya.

Bacaan Sayyidina

Pada waktu Rasululah ditanya, bagaimana kami membaca sholawat atas paduka? Rasulullah menjawab, bacalah “Allahumma Sholli ‘Ala Muhammad Wa ‘Ala Aali Muhammad” tetapi di dalam keterangan ahli taqlid selalu digunakan tambahan Sayyidina, sunahkah tambahan itu?

Fathul Mu’in hanya menerangkan:
لاَبَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّد

Tidak ada bahayanya dengan tambahan kalimat sayyidina sebelum kalimat Muhammad.

Adakah pada saudara dalil yang melarang tambahan sayyidina?
لاَ تَُسَوِّدُنِى فِى الصَّلاَةِ

Bukankah hadits itu melarang membaca sayyidina di dalam sholat?

Di manakah saudara dapat hadits itu? Saya tanyakan ini sebab sayyada yusayyidu
سَيَّدَ - يُسَيِّدُ

di dalam lughoh tidak atau belum pernah saya menjumpainya, yang ada di dalam lughoh itu sawwada-yusawwidu.
سَوَّدَ - يُسَوِّدُ

Jadi termasuk fi’il yang wawiyyul ‘ain, bukan yaiyyul ‘ain sedang kalimat Sayyid itu aslinya saiwid ‘ala wazni Fa’yil dari Sa’da-Yasudu. Wawu (و) diganti dengan Ya’ (ي) kemudian ya’ awal di-idghomkan pada ya’ tatsniyah, berdasar:
إِنْ يَسْكُنِ السَّابِقُ مِنْ وَاوٍ وَيَا *
وَاتَّصَلاَ وَمِنْ عُرُوْضٍ عَرِيَا *
فَيَاءًا الوَاوَ اقْلِبَنَّ مُدْغَمَا.

Adapun masdarnya siyadatan itu asalnya juga siwadatan, kemudian wawu diganti dengan ya’, seperti qiyam asalnya Qiwam, dan Inqiyad asalnya Inqiwad, berdasarkan:
ذَا أَيْضًا رَوَوْا فِي مَصْدَرِ اْلمُعْتَلِّ عَيْنًا

Lihat al-Khulashoh bab Ibdal. Apakah saudara juga akan berkata bahwa Tusayyidu itu asalnya Tusawwidu? Kemudian sekaligus wawu dua diganti dengan ya’ dua? Jika demikian apakah dasarnya? Baiklah! Andaikata hadits itu shohih, dan benar Tusayyidu itu asalnya Tusawwidu, itu juga tidak melarang orang membaca Sayyidina. Sebab arti harfiahnya (letterlijk) adalah ”Jangan engkau mempertuan aku di dalam sholat”. Kami membaca "sayyidina" itu, tidak kami maksudkan mempertuan, akan tetapi sekedar menyesuaikan dengan kedudukan Nabi sebagai Sayyidu Waladi Adam.

Bukankah kalimat sayyidu itu artinya tuan, itu dalam bahasa Arab (Jawa) bendoro?

Tidak selamanya kalimat sayyidina itu mempunyai arti tuan itu bendoro, tapi juga yang artinya: yang mulia, yang terhormat, pemimpin bahkan ada yang artinya suami. Bacalah ayat 55 surat Yusuf.
وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى اْلبَابِ.

Tawasul

Bagaimana hukumnya baca manaqib?

Mengertikah saudara arti kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari mufrod manqobah, yang di antara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang.

Jadi membaca manaqib, artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak terpujinya seseorang. Oleh sebab itu kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-orang baik mulia: manaqib Umar bin Khottob, manaqib Ali bin Abi Tholib, manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan lain sebagainya. Tidak boleh dan tidak benar kalau ada orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib DN. Aidit dan lain sebagainya. Kalau demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih tetap menanyakan hukumnya manaqib?

Betul tetapi cerita di dalam manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani itu terlalu berlebih-lebihan, sehingga tidak masuk akal. Misalkan umpamanya kantong berisi dinar diperas lalu keluar menjadi darah, tulang-tulang ayam yang berserakan, diperintah berdiri lalu bisa berdiri menjadi ayam jantan.

Kalau saudara melanjutkan cerita-cerita yang tidak masuk akal, sebaiknya jangan hanya berhenti sampai ceritanya Syeikh Abdul Qodir al-Jilani saja, tetapi teruskanlah. Misanya cerita tentang sahabat Umar bn Khottob berkirim surat kepada sungai Nil, Sahabat umar bin Khottob memberi komando dari Madinah kepada prajurut-prajurit yang sedang bertempur di tempat yang jauh dari Madinah. Cerita tentang Isra’ Mi’raj, cerita tentang tongkat menjadi ular, cerita gunung yang pecah, kemudian keluar dari unta yang besar dan sedang bunting tua, cerita tentang nabi Allah Isa menghidupkan orang yang sudah mati. Dan masih banyak lagi yang semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.

Kalau keluar dari Nabi Allah itu sudah memang mukjizat, padahal Abdul Qodir al-Jilani itu bukan Nabi, apa bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal?

Baik Nabi Allah maupun Syeikh Abdul Qodir al-Jilani atau sahabat Umar bin Khottob, kesemuanya itu masing-masing tidak bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi kalau Allah Ta’ala membisakan itu, apakah saudara tidak dapat menghalang-halangi?

Apakah selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?

Hal-hal yang menyimpang dari adat itu kalau keluar dari Nabi Allah maka namanya mukjizat, dan kalau timbul dari wali Allah namanya karomah.

Adakah dalil yang menunjukkan bahwa selain nabi Allah dapat dibisakan menimbulkan hal-hal yang menyimpang dari adat atau tidak masuk akal?

Silahkan saudara membaca cerita dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah Sulaiman yang dapat dibisakan memindah Arsy Balqis (QS An-Naml: 40)
قَالَ اللهُ تَعَالَى : قَالَ الَّذِى عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الكِتَابِ أَنَا آتِيِكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ. فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّى لِيَبْلُوَنِى أَأَشْكُرُ اَمْ أَكْفُرُ. وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّى غَنِيٌّ كَرِيْمٌ.

Tetapi di dalam manaqib Abdul Qodir al-Jilani ada juga kata-kata memanggil kepada para roh yang suci atau kepada wali-wali yang sudah mati untuk dimintai pertolongan, apakah itu tidak menjadikan musyrik?

Memanggil-manggil untuk dimintai pertolongan baik kepada wali yang sudah mati atau kepada bapak ibu saudara yang masih hidup dengan penuh i’tikad bahwa pribadi wali atau pribadi bapak ibu saudara itu mempunyai kekuasaan untuk dapat memberikan pertolongan yang terlepas dari kekuasaan Allah Ta’ala itu hukumnya syirik.

Akan tetapi kalau dengan i’tikad bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka itu tidak ada halangannya, apalagi sudah jelas bahwa kita meminta pertolongan (ghouts) kepada para wali itu maksudnya adalah minta dimohonkan kepada Allah Ta’ala.

Manakah yang lebih baik, berdoa kepada Allah Ta’ala dengan langsung atau dengan perantaraan (tawassul)?

Langsung boleh, dengan perantaraan pun boleh. Sebab Allah Ta’ala itu Maha Mengetahui dan Maha Mendengar. Saudara jangan mengira bahwa tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau wali itu, sama dengan saudara memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan perantaraan Kepala Kantor saudara. Pengertian tawassul yang demikian itu tidak benar. Sebab berarti mengalihkan pandangan terhadap yang ditujukan (pihak atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga disamping mempunyai kepercayaan terhadap kekuasaan pihak atasan, saudara juga percaya kepada kekuasaan pihak perantara. Tawassul kepada Allah Ta’ala tidak seperti itu.

Kalau saudara ingin contoh tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau Wali-Wali itu, seperti orang yang sedang membaca al Quran dengan memakai kacamata. Orang itu tetap memandang al Quran dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.

Bukankah Allah ta’ala berfirman dalam al Quran al Karim
وَقَالَ رَبُّكُمْ أُدْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Panggillah aku maka akan Aku sambut kepadamu. (Al Mukmin: 60)
فَادْعُو اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيِنَ

Maka sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan memurnikan kepadanya akan agama. (Al Mukmin: 24)
وَالَّذِيْنَ لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا أَخَرَ

Dan orang-orang yang tidak menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain. (Al Furqon: 68)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa itu.

Betul akan tetapi kesemuanya itu sama sekali tidak melarang tawassul dengan pengertian sebagaimana yang telah saya terangkan tadi. Coba saja perhatikan contoh di bawah ini:

Saudara mempunyai majikan yang kaya raya mempunyai perusahaan besar, saudara sudah kenal baik dengan beliau, bahkan termasuk buruh yang dekat dengannya. Saya ingin diterima bekerja di perusahaannya. Untuk melamar pekerjaan itu, saudara saya ajak menghadap kepadanya bersama-sama, dan saya berkata, “Bapak pimpinan perusahaan yang mulia. Kedatangan saya bersama guru saya ini, ada maksud yang ingin saya sampaikan, yaitu saya mohon diterima menjadi pekerja di perusahaan bapak. Saya ajak guru saya menghadap bapak karena saya pandang guru saya ini adalah orang yang baik hati dan jujur serta juga kenal baik dengan bapak”. Coba perhatikan! kepada siapa saya memohon? Kemudian adakah gunanya saya mengajak saudara menghadap majikan besar itu?

Ada dua orang pengemis. Yang satu sendirian, sedang yang satu lagi dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Anak yang satu masih menyusu dan yang satu lagi baru bisa berjalan. Di antara dua orang yang pengemis itu, mana yang lebih mendapat perhatian saudara? Saudara tentu akan menjawab yang membawa anak yang kecil-kecil itulah yang lebih saya perhatikan. Kalau begitu adakah gunanya pengemis itu membawa kedua orang anaknya yang masih kecil? Kepada siapakah pengemis itu meminta? Kepada anak yang masih kecil-kecil jugakah pengemis itu meminta?

Semoga kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan ihwanul muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini bermanfaat.

Penyusun:
KH. Bisri Mustofa

Kirim Do'a Kepada AhlilKubur

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh

Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,

Masalah ?pengiriman pahala? kepada orang yang telah wafat, kami sebenarnya sudha sering kali membahasnya. Kalau Anda sedikit usaha, pasti akan menemukan jawabnya di dalam database kami. Namun tidak ada salahnya kami memberikan gambaran untuk Anda saat ini.

Khilaf Di Antara Para Ulama

Kita menerima kenyataan bahwa para ulama memang terbagi-bagi dalam memahami masalah ini. Ada diantara mereka yang berpendapat bahwa orang yang sudah wafat itu sama sekali tidak bisa menerima pahala dari orang yang masih hidup. Sebagian lagi mengatakan bisa menerima, namun hanya jenis pahala tertentu saja yang bisa. Dan yang terakhir mengatakan bahwa semua jenis pahala bisa disampaikan kepada orang yang sudah mati.

Lebih rincinya, berikut ini kami uraikan satu persatu pendapat mereka :

1. Pendapat Pertama : Mutlak Tidak Sampai

Pendapat ini berangkat dari pengertian beberapa ayat Al-Quran Al-Kariem yang seklias memang menyebutkan bahwa tiap orang akan menerima sesuai dengan yang pernah dikerjakannya.

Allah SWT telah berfirman di dalam Al-Quran Al-Kariem :
Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya?. (QS. Al-Baqarah : 286)

2. Pendapat Kedua : Hanya Pahala Ibadah Maliyah Saja Yang Bisa Sampai

Mereka membedakan antara ibadah badaniyah dan ibadah maliyah. Pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan hajji sampai kepada mayyit, sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur?an tidak sampai.

Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafi?i dan pendapat Madzhab Malik. Mereka berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang lain.

Dalil yang mereka gunakan adalah sabda Rasul SAW:
Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum? (HR An-Nasa?i).

3. Pendapat Ketiga : Semua Jenis Pahala Bisa Sampai

• Hadits Populer

Dalil yang paling populer untuk masalah ini adalah hadits yang sudah sangat kita kenal bersama, yaitu :
Rasulullah SAW bersabda,?Bila anak Adam wafat, maka amalnya terputus kecuali tiga hal : [1] Shadaqah jariah, [2] Ilmu yang bermanfaat dan []3 Anak shalih yang mendoakannya. (HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa?I dan Ahmad )

• Terkabulnya Doa Selain Dari Anak

Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk berdoa dan mendoakan mayat yang telah wafat. Dan tidak harus untuk yang masih ada hubungan saudara dan darah. Melainkan kepada semuanya, yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Logikanya, bila Allah SWT sendiri memerintahkan untuk mendoakan mereka, bagaimana mungkin dikatakan bahwa doa itu tidak ada gunanya.

Bahkan di dalam Al-Quran Al-Kariem sendiri, ada teks doa itu dan memang telah dibaca oleh umat ini.
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo?a :? Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami? (QS Al Hasyr: 10)

Juga ada hadits Rasulullah SAW yang menceritakan doa kepada mayyit :
Dari Ustman bin ?Affan ra berkata:? Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau berdiri lalu bersabda:? mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya? (HR Abu Dawud)

Kalau kita diminta untuk memohon ampun bagi orang yang sudah wafat, logiskah bila masih akan dikatakan bahwa tidak ada pengaruh amal orang hidup untuk orang yang telah wafat ?
• Disyariatkannya Shalat Jenazah

Kira-kira, apa sih gunanya shalat jenazah ? Dan adakah bedanya bila jenazah dishalatkan dengan tidak dishalatkan ?

Tentu saja shalat jenazah itu disyariatkan karena jenazah yang dishalatkan itu memang akan mendapatkan pahala dan keringanan siksa di dalam kuburnya. Paling tidak shalat itu bukan hanya berpengaruh kepada amal yang melakukannya, melainkan juga kepada jenazah yang dishalatkan itu sendiri.

Apalagi bila dilihat lafaz shalat jenazah yang intinya tidak lain adalah doa untuk mayit. Artinya, mayit itu didoakan agar dia mendapatkan segala yang dibutuhkannya di alam quburnya.
Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW ? setelah selesai shalat jenazah-bersabda:? Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka? (HR Muslim).

Kalau doa ini disyariatkan, artinya memang ada perintah untuk itu dna tentu saja Allah SWT tidak akan memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
• Sampainya Pahala Sedekah Untuk Orang Mati

Rasulullah SAW pun memerintahkan shahabat untuk bersedekah yang pahalanya untuk orang yang telah wafat. Haditys berikut ini menjelaskan bagaimana hal itu.
Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya:? Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata:? saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya? (HR Bukhari).

• Dosa Hutang Yang Terhapus

Hadits Abu Qotadah menjelaskan bahwa seseorang mati dalam keadaan berhutang. Tentu saja di kubur dia mendapat masalah. Lalu ketika keluarganya membayarkan hutangnya sebanyak dua dinar, maka nabi SAW bersabda:
Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya? (HR Ahmad)

• Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/1/cn/24502

Doa untuk Orang yang Meninggal
Assalamu''alaikum Wr. WB,

Pak Ustadz, saya selalu bertanya dalam hati, apakah orang yang sudah meninggal dan kita doakan akan disampaikan do''anya dan meringankan siksanya. Berarti apakah orang yangmeninggal tersebut masih bisa mengingat kita yang di dunia.

Bukankah orang yang sudah meninggal itu terputus oleh urusan dunia. Masalah 40 hari untuk org meninggal apakah penting sekali, mengingat bila ada yang tak mampu tak bisa melaksanakan dan ada yang bilang selama 40 hari arwah masih ada. Karena saya tidak mempercayai hal itu.

Kemudian jika saya menemukan masalah saya selalu mengharap pada Allah saja, saya selalu minta mengikhlaskan hati saya dalam menghadapi setiap masalah, karena setiap masalah saya anggap bukan ujian dari Allah melainkan akibat saya sendiri. Dan saya cuma meminta Allah memberikan pertolongan saja. Apakah fikiran saya salah?

Tolong dijelaskan dengan sejelasnya, karena saya diambang kebingungan. Terima kasih.

jawaban
Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Seorang yang sudah wafat memang akan terputus amal-amalnya. Sebab orangnya sudah meninggal, jadi mana mungkin dia masih bisa beramal. Dengan kewafatannya, otomatis semua amalnya sudah terputus, sebab mayat tidak mungkin melakukan amal ibadah.

Karena itu benarlah sabda nabi Muhammad SAW ketika mengatakan bahwa seorang yang meninggal akan terputus amalnya.

"Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo''akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya" (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa''i dan Ahmad).

Namun ketika membaca hadits ini, kita tidak boleh terpaku dengan pengertian sekilas saja. Hadits ini kalau kita baca agak teliti dan cermat, akan memberikan sebuah pemahaman yang lebih luas.

Misalnya, hadits ini sebenarnya tidak mengatakan bahwa orang yang sudah meninggal tidak bisa menerima manfaat dari orang lain yang masih hidup. Misalnya permintaan ampun, kiriman doa atau shalat jenazah. Semuanya memang bukan amal perbuatan si mayyit, melainkan amal orang lain. Tetapi oleh hadits ini tidak ditolak kemungkinan manfaatnya buat si mayyit.

Yang disebutkan oleh hadits ini hanya sekedar amal si mayyit yang sudah terputus, bukan amal orang lain untuk si mayyit.

Sementara kepastian bahwa amal orang lain bisa bermanfaat buat si mayyit yang sudah berada di dalam alam barzakh, justru ditetapkan oleh hadits-hadits lainnya.

A. Shalat Jenazah.

Shalat jenazah adalah salah satu kewajiban yang bersifat kifa''i. Setiap muslim dianjurkan untuk melakukannya. Dan intinya adalah mendoakan dan memintakan ampunan buat si mayyit yang jasadnya sedang dishalatkan. Kalau amal orang lain tidak bermanfaat buat si mayyit, maka seharusnya tidak ada syariat shalat jenazah.

Tentang do''a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW bersabda:

"Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW - setelah selesai shalat jenazah-bersabda:` Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka." (HR Muslim).

B. Doa Kepada Mayyit Saat Dikuburkan

Selain itu Rasulullah SAW juga mensyariatkan kita untuk berdoa kepada Allah untuk mayyit yang sedang dikuburkan. Kalau seandainya amal orang lain tidak bisa diterima, tidak mungkin Rasulullah SAW bersabda:

Dari Ustman bin ''Affan ra berkata:` Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri lalu bersabda:` mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya` (HR Abu Dawud)

C. Doa Saat Ziarah Kubur

Sedangkan tentang do''a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ''Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW:

`Bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur? Rasul SAW menjawab, `Ucapkan: (salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu''min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya -insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).

Jadi kesimpulannya adalah amal ibadah orang lain asalkan diniatkan untuk orang yang sudah wafat dan memenuhi standar aturan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW, bisa bermanfaat buat ahli kubur.

Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Bacaan Al Quran untuk Orang yang Sudah meninggal

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hirairoh dari Rasulullah saw bahwa beliau saw bersabda,”Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal : dari sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakannya.”

Pembacaan al Quran bagi seorang yang sudah meninggal adalah masalah yang diperselisihkan para ulama. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa pahala darinya tidak akan sampai kepadanya, demikian pendapat para ulama madzhab Syafi’i, sebagaimana dikatakan Imam Nawawi didalam “Syarh” nya.

Sedangkan Ahmad bin Hambal dan sekelompok para ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hal itu sampai kepada si mayit. Maka sebaiknya si pembaca setelah membacanya mengucapkan,”Ya Allah aku sampaikan seperti pahala bacaanku ini kepada si fulan.”

Di dalam kitab “al Mughni” oleh Ibnu Qudamah disebutkan: Ahmad bin Hanbal mengatakan,”Segala kebajikan akan sampai kepada si mayit berdasarkan nash-nash yang ada tentang itu, karena kaum muslimin biasa berkumpul di setiap negeri kemudian membaca Al Qur’an dan menghadiahkannya bagi orang yang mati ditengah-tengah mereka dan tidak ada yang menentangnya, hingga menjadi kesepekatan.” (Fiqhus Sunnah juz I hal 569)

Dengan demikian jika anda meniatkan didalam diri anda bahwa,”Aku membaca al Qur’an (al Fatihah) dan aku hibahkan pahala apa yang aku baca ini buat ibu yang telah meninggal.” maka insya Allah pahalanya akan sampai kepadanya, sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan hadits Abu Hurairoh diatas.

Sedangkan ziyarah kubur hanya bertujuan sebagai pelajaran bagi dirinya dan mengingatkannya akan kematian maupun negeri akherat, sebagaimana apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, ia berkata; Rasulullah saw bersabda: "Aku telah melarang kalian menziarahi kuburan, sekarang berziarahlah ke kuburan, karena dalam berziarah itu terdapat peringatan (mengingatkan kematian)."
Dengan keduanya bisa dilakukan selama memenuhi aturan-aturan yang telah disebutkan diatas.